Kondisi alam yang sangat baik ini juga didukung dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar. Hingga tahun 2010, jumlah penduduk di Indonesia mencapai 230-an juta jiwa. Angka ini tentunya merupakan angka yang cukup besar untuk sebuah negara berkembang. Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar ini sudah dapat dipastikan akan membutuhkan pangan dari hasil peternakan. Dapat dibayangkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230-an juta jiwa ini, berapa besarkah jumlah pasokan pangan dari hasil peternakan yang harus disediakan.
Hingga tahun 2015, kebutuhan beberapa produk peternakan masih belum dapat dipenuhi dari dalam negeri. Sebagian besar kekurangan produk peternakan ini masih diatasi dengan jalan impor ke beberapa negara tetangga. Beberapa produk peternakan yang hingga saat ini masih dipenuhi dengan cara impor yaitu daging sapi dan susu. Hampir setiap tahun, di beberapa perayaan hari besar seperti lebaran dan tahun baru, kebutuhan akan produk daging sapi meningkat tajam. Peningkatan yang sangat besar ini tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan pasokan ternak sapi dari para peternakan yang ada di Indonesia dan pada akhirnya dipenuhi dengan jalan pengimporan daging sapi baik dalam keadaan daging siap konsumsi atau dalam keadaan sapi siap potong. Tidak jauh berbeda dari komoditi sapi, komoditi susu yang merupakan salah satu pemenuh utama kebutuhan protein dan kalsium hewani manusia hingga tahun 2015 belum mampu dipenuhi dari usaha peternakan dalam negeri.
Permasalahan ketidakmampuan usaha peternakan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan komoditi peternakan seperti tersebut di atas merupakan permasalahan klasik yang sudah turun temurun dan belum dapat dipecahkan hingga saat ini. Permasalahan ini dapat dikategorikan sebagai permasalahan yang sangat kompleks dan mengakar di berbagai lapisan berbagai pihak yang terkait dengan peternakan. Masalah di bidang peternakan ini terbentang dari mulai masalah pada peternak hingga yang paling parah adalah kebobrokan pemerintah dalam menangani permasalahan ini.
Tidak dapat dipungkiri hingga saat ini, usaha peternakan yang ada di Indonesia masih didominasi oleh peternakan rakyat dengan kapasitas produksi yang masih sangat rendah. Kapasitas produksi yang sangat rendah ini juga diperparah dengan penggunaan metode beternak yang masih sangat tradisional. Kedua hal ini membuat produktivitas usaha menjadi sangat rendah dalam berbagai hal. Salah satu hal yang menggambarkan rendahnya produktivitas peternakan ini adalah produktivitas indukan sapi. Penggunaan indukan sapi yang masih asal disertai dengan metode pemeliharaan yang masih sangat tradisional, membuat indukan hanya mampu melahikan anak sebanyak 1 kali selama 2 tahun. Produktivitas yang rendah ini diperparah lagi oleh rendahnya kualitas pedet yang dilahirkan. Padahal, jika para peternak ini tahu, mau dan mampu menggunakan bibit indukan yang berkulitas, tentu saja permasalahan ini dapat terselesaikan dengan mudah. Sayangnya hingga tahun 2015, para peternak masih belum begitu “teredukasi” sehingga tidak mengenal berbagai macam metode canggih yang telah ditemukan di bidang peternakan.
Kondisi peternakan di Indoensia seperti rendahnya penggunaan teknologi peternakan oleh para peternak juga masih diperparah oleh birokrasi bobrok di pemerintahan. Tingginya ego dan ketidakpedulian beberapa oknum di pemerintahan membuat usaha peternakan di Indonesia seperti berjalan di tempat. Hingga Tahun 2015, dalam mengatasi berbagai permalahan di bidang peternakan, pemerintah seakan hanya memberikan pereda “nyeri” dan bukan mengobati penyakitnya. Hal ini terlihat dari kebijakan pengimporan daging sapi dan produk olahan susu. Kebijakan pengimporan ini memang terbukti dapat mengatasi permasalahan kekurangan pasokan yang terjadi, akan tetapi di sisi lainnya, hal ini membuat Indonesia menjadi ketergantungan dengan impor. Padahal secara logika, dengan luas wilayah Indonesia yang mencapai jutaan km2, untuk mendapatkan pasokan daging sapi yang besar, Indonesia dapat memproduksinya sendiri dengan memanfaatkan lahan yang tersedia dan “meng-edukasi” para peternak yang ada di Indonesia. Sayangnya, alih-alih memajukan sektor peternakan di Indonesia, pemerintah seolah-olah tutup mata dan hanya memberikan solusi jangka pendek dengan jalan pengimporan daging sapi.
Kondisi-kondisi tersebut diatas tidak dapat dipungkiri memang terjadi di Indonesia dan dapat dikatakan cukup menyedihkan. Meskipun begitu, jika kita ambil segi positifnya, Kondisi kekurangan pasokan komoditi peternakan seperti yang tersebut di atas menunjukkan jika peluang untuk memasuki usaha di bidang industri peternakan masih terbuka dengan lebar. Dengan tingginya permintaan dan rendahnya pasokan akan komoditi peternakan, para peternak dapat dengan leluasa meningkatkan jumlah produksi komoditi peternakan tanpa harus khawatir memikirkan pasar yang akan dituju untuk menjual komoditi tersebut. Dengan kekurangan ini, diharapkan masyarakat dapat berfikir lebih keras lagi untuk mengatasi permasalahan ini sehingga timbul ide-ide kreatif yang dapat membangun industri di sektor peternakan. Dengan kekurangan ini, diharapkan juga investor-investor mau menanamkan modal di industri peternakan sehingga dapat menyerap pasokan tenaga kerja dari dalam negeri. Dengan kekurangan ini juga diharapkan akan timbul berbagai macam usaha-usaha baru yang bergerak di bidang pendukung usaha peternakan.
Itulah sedikit gambaran mengenai kondisi peternakan di Indonesia. Dengan membaca tulisan ini diharapkan pembaca bisa menemukan inspirasi untuk kemajuan di sektor peternakan Indonesia. Meskipun telihat seperti kekurangan, akan tetapi, mari kita lihat segi positif dari kekurangan ini sehingga dapat melecut kita untuk terus berkontribusi terhadap kemanjuan sektor peternakan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar